Sebut aja Kang Paijo yang tampak kusut dan nelangsa. Ia membuka caping dan duduk leyeh-leyeh di bawah pohon singkong. Debu kemarau ditiup angin yang panas menerpa wajahnya yang cokelat kehitaman penuh keringat. Ia sedih menatap Bronjong yang nangkring di sepeda onthel warisan bapaknya. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana. Karena perkembangan zaman beronjong tidak lagi nagkring di atas sepedah Ontel.Banyak Penguna bronjong yang mengunakan sepedah Motor,Sedangkan Pak Paijo setiap hari dia berjualan sayur dengan onthel dan beronjongnya.Jelas Pak Paijo Kalah Cepat Dengan Pedagang Lainya...
Mata pak Paijo terpejam sebentar, lalu tersentak bangun. Terbayang kata-kata isterinya yang minta uang untuk nyumbang. Hajatan bulan ini memang banyak. Pakdhe Marijo dan Mbah Parto mau mantu sedangkan Lik Domo dan Lek Pardi mau menyunatkan anaknya, dan Yu Sawi kemarin melahirkan. Ada 5 orang punya hajat. Semua harus rewang dan nyumbang karena adat yang berlaku di kampung Kang Paijo ( Tlogorejo ) memang begitu. Aib jika tidak datang ke tempat orang punya hajat.
Nyumbang, tidak sekadar membawa uang. Tapi harus membawa gawan. Beras, tempe, jipang, kelapa, bihun, gula, teh bahkan kadang rokok 1 selop. Pak Paijo meraba-raba sakunya. Kempes.Pak Paijo bangun dan kembali menjajakan dagangannya. Di terik matahari musim kemarau yang panas itu, tubuh kurusnya terus mengayuh sepeda onthel memasuki gang-gang di Desa Tlogorejo.
Sayur...sayur...! Sayur...sayur...! Sayur... sayur...!Suaranya melengking-lengking menawarkan dagangannya yang masih banyak. Biasanya menjelang Asar banyak ibu-ibu yang membeli sayur. Tapi kali ini sepi. Pak Paijo tak henti-hentinya menawarkan dagangannya. Melengking-lengking dan parau. Lelah, peluh, dan haus memenuhi tubuh kurusnya. Tapi ia tak gentar. Setiap peluh yang menetes ia niatkan sebagai ibadah. Mencari nafkah untuk anak dan isterinya.
Beli bandeng, Pak...!Ada ibu-ibu melambai-lambaikan tangannya. Pak Paijo bersyukur. Ia menghentikan onthel-nya dan melayani dengan gembira.Pak Paijo tak henti-hentinya bersyukur. Terbayang isteri dan anak-anaknya di rumah yang rajin beribadah dan mendoakannya. Paijem, isterinya adalah wanita yang taat beragama. Dengan sukarela ia membantu menjaga dapur agar tetap berasap. Bekerja sebagai pemilah sampah di TPA sebelah barat kampung. Bau busuk menyengat tak dihiraukannya. Berpuluh-puluh tahun hidup sederhana dan serba pas-pasan dilaluinya dengan tabah.
Pagi ini Pak Paijo tidak berjualan. Sejak bangun pagi Pak Paijo hanya leyeh-leyeh di dipan teras rumahnya. Dulu Pak Paijo tidak mau menjadi buruh pabrik karena rawan terkena PHK, pemecatan. Dia memilih menjadi pedagang dengan alasan jika ditekuni akan sukses dan tak ada yang memerintah apalagi memecat dia. Kenyataannya tidak demikian. Sekarang Pak Paijo Hampir kehilangan pekerjaan. Karena kalah cepet dengan pedagang lainya. Memang di desa tlogorejo banyak penjual sayur dan keperluan dapur tidak mengunakan ontel,
Oalah Kang, kita itu rakyat kecil, wong cilik ongklak-angklik. Untuk apa mikir yang begitu. Lebih baik berpikir cari pekerjaan lain. Apa sampeyan ikut kerja di TPA saja. Daripada menganggur.
Aku ingin merantau saja. Kemarin Pakdhe Karso nawari kerja jadi buruh bangunan di Bojonegoro. Lumayan, sehari Rp 35.000,ucap Pak Paijo sambil menyeruput teh panas buatan isterinya.
Pak, jangan merantau.Di Bojonegoro Kota sana semua kan mahal. Uang Rp 35.000 tidak akan cukup. Di sana juga ramai. Pokoknya mangan ora mangan kumpul.
Kumpul tidak kumpul, yang penting bisa makan.
Terserah Bapak, Aku tetap tidak setuju.;Ucap bu Paijem"
Pak Paijo menarik nafas dalam-dalam, menahannya sebentar, lalu mengembuskannya lewat mulut.bahkan keluarjaga udara dari buntut, Terasa berat beban yang ditanggungnya kali ini. Sebagai lelaki, kepala rumah tangga, dia harus bisa menghidupi keluarganya. Bekerja, bekerja dan bekerja. Itulah yang ada di benak Pak Paijo
Pagi yang cerah.Pak Paijo bertekad bulat untuk berangkat ke Bojonegoro. Isteri dan anaknya meskipun dengan berat hati, akhirnya mengizinkan Pak Paijo. Sebelum berangkat,Pak Paijo berpesan pada anak isterinya agar senantiasa mendoakannya. Dipeluknya anak isterinya itu dengan erat.
Empat bulan telah berlalu.Pak Paijo belum juga memberi kabar.Bu Paijem menangis tiap hari. Ia ingin mengabarkan bahwa dirinya hamil. Tapi ke mana ia akan memberi kabar? Alamat suaminya saja tidak tahu. Pakdhe Karso yang dulu menawari kerja juga tidak tahu. Katanya dulu dititipkan temannya di Bojonegoro.
Tiap sore, ketika senja yang berwarna jingga menggantung di langit barat,bu Paijem berteriak-teriak memanggil-manggil nama suaminya.Apa yang terjadi pada Pak Paijo....Ikuti Cerita Berikutnya.
Bersambung................
Mata pak Paijo terpejam sebentar, lalu tersentak bangun. Terbayang kata-kata isterinya yang minta uang untuk nyumbang. Hajatan bulan ini memang banyak. Pakdhe Marijo dan Mbah Parto mau mantu sedangkan Lik Domo dan Lek Pardi mau menyunatkan anaknya, dan Yu Sawi kemarin melahirkan. Ada 5 orang punya hajat. Semua harus rewang dan nyumbang karena adat yang berlaku di kampung Kang Paijo ( Tlogorejo ) memang begitu. Aib jika tidak datang ke tempat orang punya hajat.
Nyumbang, tidak sekadar membawa uang. Tapi harus membawa gawan. Beras, tempe, jipang, kelapa, bihun, gula, teh bahkan kadang rokok 1 selop. Pak Paijo meraba-raba sakunya. Kempes.Pak Paijo bangun dan kembali menjajakan dagangannya. Di terik matahari musim kemarau yang panas itu, tubuh kurusnya terus mengayuh sepeda onthel memasuki gang-gang di Desa Tlogorejo.
Sayur...sayur...! Sayur...sayur...! Sayur... sayur...!Suaranya melengking-lengking menawarkan dagangannya yang masih banyak. Biasanya menjelang Asar banyak ibu-ibu yang membeli sayur. Tapi kali ini sepi. Pak Paijo tak henti-hentinya menawarkan dagangannya. Melengking-lengking dan parau. Lelah, peluh, dan haus memenuhi tubuh kurusnya. Tapi ia tak gentar. Setiap peluh yang menetes ia niatkan sebagai ibadah. Mencari nafkah untuk anak dan isterinya.
Beli bandeng, Pak...!Ada ibu-ibu melambai-lambaikan tangannya. Pak Paijo bersyukur. Ia menghentikan onthel-nya dan melayani dengan gembira.Pak Paijo tak henti-hentinya bersyukur. Terbayang isteri dan anak-anaknya di rumah yang rajin beribadah dan mendoakannya. Paijem, isterinya adalah wanita yang taat beragama. Dengan sukarela ia membantu menjaga dapur agar tetap berasap. Bekerja sebagai pemilah sampah di TPA sebelah barat kampung. Bau busuk menyengat tak dihiraukannya. Berpuluh-puluh tahun hidup sederhana dan serba pas-pasan dilaluinya dengan tabah.
Pagi ini Pak Paijo tidak berjualan. Sejak bangun pagi Pak Paijo hanya leyeh-leyeh di dipan teras rumahnya. Dulu Pak Paijo tidak mau menjadi buruh pabrik karena rawan terkena PHK, pemecatan. Dia memilih menjadi pedagang dengan alasan jika ditekuni akan sukses dan tak ada yang memerintah apalagi memecat dia. Kenyataannya tidak demikian. Sekarang Pak Paijo Hampir kehilangan pekerjaan. Karena kalah cepet dengan pedagang lainya. Memang di desa tlogorejo banyak penjual sayur dan keperluan dapur tidak mengunakan ontel,
Bu Paijem"Jangan terlalu dirisaukan Pak! Rezeki sudah ada yang mengatur.Iya, tapi kita kan harus tetap berusaha. Aku tak habis pikir,Zaman Maju Tapi Wong Cilik Selalu Susah,
Tabah dan tawakal saja!"ucap Bu Paijem sambil menghidangkan ubi rebus dan teh.
Oalah Kang, kita itu rakyat kecil, wong cilik ongklak-angklik. Untuk apa mikir yang begitu. Lebih baik berpikir cari pekerjaan lain. Apa sampeyan ikut kerja di TPA saja. Daripada menganggur.
Aku ingin merantau saja. Kemarin Pakdhe Karso nawari kerja jadi buruh bangunan di Bojonegoro. Lumayan, sehari Rp 35.000,ucap Pak Paijo sambil menyeruput teh panas buatan isterinya.
Pak, jangan merantau.Di Bojonegoro Kota sana semua kan mahal. Uang Rp 35.000 tidak akan cukup. Di sana juga ramai. Pokoknya mangan ora mangan kumpul.
Kumpul tidak kumpul, yang penting bisa makan.
Terserah Bapak, Aku tetap tidak setuju.;Ucap bu Paijem"
Pak Paijo menarik nafas dalam-dalam, menahannya sebentar, lalu mengembuskannya lewat mulut.bahkan keluarjaga udara dari buntut, Terasa berat beban yang ditanggungnya kali ini. Sebagai lelaki, kepala rumah tangga, dia harus bisa menghidupi keluarganya. Bekerja, bekerja dan bekerja. Itulah yang ada di benak Pak Paijo
Pagi yang cerah.Pak Paijo bertekad bulat untuk berangkat ke Bojonegoro. Isteri dan anaknya meskipun dengan berat hati, akhirnya mengizinkan Pak Paijo. Sebelum berangkat,Pak Paijo berpesan pada anak isterinya agar senantiasa mendoakannya. Dipeluknya anak isterinya itu dengan erat.
Empat bulan telah berlalu.Pak Paijo belum juga memberi kabar.Bu Paijem menangis tiap hari. Ia ingin mengabarkan bahwa dirinya hamil. Tapi ke mana ia akan memberi kabar? Alamat suaminya saja tidak tahu. Pakdhe Karso yang dulu menawari kerja juga tidak tahu. Katanya dulu dititipkan temannya di Bojonegoro.
Tiap sore, ketika senja yang berwarna jingga menggantung di langit barat,bu Paijem berteriak-teriak memanggil-manggil nama suaminya.Apa yang terjadi pada Pak Paijo....Ikuti Cerita Berikutnya.
Bersambung................
0 komentar:
Post a Comment