Arti harfiahnya adalah orang kecil. Maksudnya ialah mereka yang kehidupan sosio ekonomis politisnya ditentukan pihak lain. Bisa juga ditafsirkan bahwa wong cilik adalah mereka yang tidak punya akses terhadap kekuasaan. Dalam dunia wayang, wong cilik adalah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, para punakawan yang setia mendampingi para satria utama dalam usaha menegakkan keadilan dan kebenaran. Kita tahu, Semar adalah dewa mangejawantah (manifestasi dewa) yang hidup di bumi. Karena itu, jika para satria bersikap sembarangan terhadap Semar, mereka bisa kualat.
Dengan kata lain, bila para satria pangembating praja (aparat pemerintah, termasuk para birokrat) mengabaikan suara wong cilik, mereka pun akan mudah tersungkur. People’s power tak bisa diremehkan. Konsep kualat dalam masyarakat Jawa bisa jadi merupakan mekanisme kontrol agar mereka yang di atas tidak begitu saja melupakan kawulo yang di bawah.
Kenyataannya, di masyarakat kita wong cilik masih diperlakukan seperti cah cilik (anak kecil) padahal mereka dudu cah cilik (bukan anak kecil). Sebagai anak kecil tahunya diam, kalau masakan siap akan di panggil, kalau malam cuci kaki terus bobo, selesai. Artinya, wong cilik sebagai cah cilik kodrat politisnya harus diam.
Memang sih ada perkembangan yang lumayan sehubungan dengan perlakuan terhadap wong cilik akhir-akhir ini. Paling tidak kelihatan mereka makin berani menuntut hak dan mengadu kepada anggota dewan atau pejabat daerah, meski kita juga tahu bahwa hasilnya masih pada taraf “kami tampung”. Dengan demikian, wong cilik adalah mereka yang bila mengadukan nasib kepada satria pangembating praja diterima baik-baik dan dijawab : aspirasi kami tampung!
Selebihnya, wong cilik adalah mereka yang jika nyolong ayam jelas ditindak tegas demi tegaknya rule of law. Bukan cuma itu, wong cilik adalah juga para penyangga tegaknya piramida kekuasaan. Sebagai penyangga, posisinya di bawah, membungkuk, dan tak jarang pula penyok.
Kadang golongan menengah berpikir dengan sikap memihak terhadap wong cilik, nasib mereka mungkin akan terangkat. Tidak heran bila kemudian si wong cilik lalu jadi “komoditas internasional” dengan merek dagang “kemiskinan” atau “peningkatan kesehatan” yang akhirnya membuat para pedagang perantara hidup makmur tak kurang suatu apa.
Begitulah, wong cilik selalu tertinggal dari zaman ke zaman. Tapi mereka tetap tabah menunggu giliran. Mungkin ini lantaran mereka kelewat percaya kepada cakra manggilingan, yang menjanjikan bahwa hidup itu bak roda berputar dan bahwa wolak-waliking jaman (perubahan tatanan zaman) akan memungkinkan mereka naik dan yang di atas bisa ke bawah. Mungkin ada benarnya. Ataukah justru konsep cakra manggilingan itu sebenarnya merupakan ideologi kaum mapan untuk meninabobokan wong cilik agar mereka sabar terus di roda bagian bawah. Ideologi penindasan.
Metafora tentang wong cilik lalu menjadi khas, berkonotasi merendahkan dan mengejek. Saya masih ingat, di Jawa wong cilik itu diejek sebagai si cebol. Jika mereka menunjukkan punya ambisi, langsung saja ditekan dengan ucapan : o, si cebol nggayuh lintang (si cebol mau memetik bintang – sama dengan pepatah Indonesia si pungguk merindukan bulan). Suatu kemustahilan. Namun, bila si cebol tadi benar-benar mampu nggayuh lintang (bisa naik tangga sosial), segera mereka akan dicemooh : kere munggah bale yang arti harfiahnya si gembel masuk balai / rumah.
Kedua peribahasa ini bisa saja merupakan sejenis self mockery (wong cilik mentertawakan dirinya sendiri), tapi bisa juga ditafsirkan bahwa keduanya merupakan cermin dari sikap tidak rela kelas elit jika wong cilik ikut-ikut menikmati kursi kekuasaan dan duduk sederajat dengan mereka.
Welehhh Welehhhh Wong Cilik Kok Yo Di Akal Akalin Terus Sama Wong Gedeee.... Pancen Hasemmm...
Dengan kata lain, bila para satria pangembating praja (aparat pemerintah, termasuk para birokrat) mengabaikan suara wong cilik, mereka pun akan mudah tersungkur. People’s power tak bisa diremehkan. Konsep kualat dalam masyarakat Jawa bisa jadi merupakan mekanisme kontrol agar mereka yang di atas tidak begitu saja melupakan kawulo yang di bawah.
Kenyataannya, di masyarakat kita wong cilik masih diperlakukan seperti cah cilik (anak kecil) padahal mereka dudu cah cilik (bukan anak kecil). Sebagai anak kecil tahunya diam, kalau masakan siap akan di panggil, kalau malam cuci kaki terus bobo, selesai. Artinya, wong cilik sebagai cah cilik kodrat politisnya harus diam.
Memang sih ada perkembangan yang lumayan sehubungan dengan perlakuan terhadap wong cilik akhir-akhir ini. Paling tidak kelihatan mereka makin berani menuntut hak dan mengadu kepada anggota dewan atau pejabat daerah, meski kita juga tahu bahwa hasilnya masih pada taraf “kami tampung”. Dengan demikian, wong cilik adalah mereka yang bila mengadukan nasib kepada satria pangembating praja diterima baik-baik dan dijawab : aspirasi kami tampung!
Selebihnya, wong cilik adalah mereka yang jika nyolong ayam jelas ditindak tegas demi tegaknya rule of law. Bukan cuma itu, wong cilik adalah juga para penyangga tegaknya piramida kekuasaan. Sebagai penyangga, posisinya di bawah, membungkuk, dan tak jarang pula penyok.
Kadang golongan menengah berpikir dengan sikap memihak terhadap wong cilik, nasib mereka mungkin akan terangkat. Tidak heran bila kemudian si wong cilik lalu jadi “komoditas internasional” dengan merek dagang “kemiskinan” atau “peningkatan kesehatan” yang akhirnya membuat para pedagang perantara hidup makmur tak kurang suatu apa.
Begitulah, wong cilik selalu tertinggal dari zaman ke zaman. Tapi mereka tetap tabah menunggu giliran. Mungkin ini lantaran mereka kelewat percaya kepada cakra manggilingan, yang menjanjikan bahwa hidup itu bak roda berputar dan bahwa wolak-waliking jaman (perubahan tatanan zaman) akan memungkinkan mereka naik dan yang di atas bisa ke bawah. Mungkin ada benarnya. Ataukah justru konsep cakra manggilingan itu sebenarnya merupakan ideologi kaum mapan untuk meninabobokan wong cilik agar mereka sabar terus di roda bagian bawah. Ideologi penindasan.
Metafora tentang wong cilik lalu menjadi khas, berkonotasi merendahkan dan mengejek. Saya masih ingat, di Jawa wong cilik itu diejek sebagai si cebol. Jika mereka menunjukkan punya ambisi, langsung saja ditekan dengan ucapan : o, si cebol nggayuh lintang (si cebol mau memetik bintang – sama dengan pepatah Indonesia si pungguk merindukan bulan). Suatu kemustahilan. Namun, bila si cebol tadi benar-benar mampu nggayuh lintang (bisa naik tangga sosial), segera mereka akan dicemooh : kere munggah bale yang arti harfiahnya si gembel masuk balai / rumah.
Kedua peribahasa ini bisa saja merupakan sejenis self mockery (wong cilik mentertawakan dirinya sendiri), tapi bisa juga ditafsirkan bahwa keduanya merupakan cermin dari sikap tidak rela kelas elit jika wong cilik ikut-ikut menikmati kursi kekuasaan dan duduk sederajat dengan mereka.
Welehhh Welehhhh Wong Cilik Kok Yo Di Akal Akalin Terus Sama Wong Gedeee.... Pancen Hasemmm...
0 komentar:
Post a Comment